MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
NAMA : Andriansyah Prasetyo
NPM : 40112848
KELAS : 1 DC 01 (D3 TEKNIK KOMPUTER)
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
Siapa yang menjadi warganegara yang dijelaskan
dalam pasal 26 UUD-1945 ?
Pasal
26
1.Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia
asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara.
2.Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang
bertempat tinggal di Indonesia.
3.Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan
undang-undang.
A. Sering kita mendengar tentang permasalahan “Pribumi dan non pribumi”,
yang dapat memecah
belah persatuan dan kesatuan bangsa kita ,
Dalam Undan-Undang dasar 1945 ayat 26 terdapat beberapa pertanyaan. Pertama, pantaskah isu
mengenai 'pribumi dan non-pribumi' itu dikemukankan kepada masyarakat. Dan yang
kedua, siapa yang sebenarnya disebut WNI dan penduduk di sini?
Pertama – tama kita
akan menerjemahkan apa itu Pribumi dan apa itu Non pribumi ?
Pribumi atau Penduduk asli adalah setiap orang yang
lahir disuatu tempat atau wilayah atau negara dan menetap disana. Pribumi ini
bersifat melekat pada suatu tempat. secara lebih khusus, istilah pribumi
ditujukan kepada setiap orang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir
disuatu tempat tersebut. Pribumi memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah
atau tempat tinggal yang berstatus hak miliki pribadi). Sedangkan Non pribumi berarti yang bukan pribumi
atau bukan penduduk asli suatu tempat. Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi
adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari
suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan
Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering
dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di
Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung
mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan ras nereka.
Penyimpangan mengenai
golongan pribumi dan non pribumi muncul akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) , mungkin
inilah penyebabnya mengapa muncul konflik permasalahan tentang masyarakat
Pribumi dan Non pribumi tercipta. Petama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini
hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan koloninya. Sebagai contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda
memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan.
Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan terbaik, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat
kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai
kelas rendah. Hal ini juga terjadi pada masyarakat Tionghoa, pada masa penjajahan,
masyarakat Tionghoa telah menjadi warga negara kelas dua, sedangkan penduduk
asli Indonesia berada di kelas terbawah. Ada juga kaum Tionghoa yang menduduki
Kelas satu karena faktor kekayaan dan intelektualitasnya. Klasifikasi ini
berakibat timbulnya dendam kelompok bawah (pribumi) terhadap kelompok tengah
Tionghoa yang selanjutnya menyulut konflik-konflik antar etnis yang selama ini
sering terjadi.
Menurut saya seharusnya permasalahan tersebut jangan
terlalu dipermasalahkan atau dikemukakan karena, kembali kepada asas kemanusiaan dan hak-hak asasi yang hakiki.
Setiap orang berhak untuk tinggal dan hidup di mana pun mereka mau. Asal tidak
menyalahi hukum dan undang-undang yang ada, hal tersebut jelas diperbolehkan.
Dan isu mengenai ‘pribumi dan non pribumi’ ini pun sebenarnya tidak perlu
diperpanjang lagi. Karena selain dapat memecah belah persatuan dan kesatuan
bangsa, juga hal ini tidak memiliki dasar yang jelas dan masih mengambang.
Cukup ingatlah satu slogan yang akan selalu ada di kaki Burung Garuda:
“Bhinneka Tunggal Ika” dan berharap dapat menyadarkan bahwa betapa indahnya
hidup bersama di dalam perbedaan.
1) Apakah ada
di Indonesia penduduk asli? Kalau ada dimana domisilinya?
Jawab :
Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat
dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah
dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua
atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus
Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya
lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli
Australia.
yang
berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid,
atau Austroloid, yang berkulit hitam.
2) Kenapa
timbul isu istilah pribumi dan non pribumi?
Jawab: Sebenarnya
sangat disayangkan bila terdapat istiah pribumi dan pribumi karena bangsa
Indonesia memahami sistem
BHINEKA
TUNGGAL IKA ,
jika dimasyarakat terdapat isu isu tentang pribumi dan nonpribumi itu
dikarenakan pola ikir masyarakat yang masih mengenggap bahwa dirinyalah yang
terbaik.
Ada
anggapan bahwa warga pribumi itu adalah warga rendahan yang tak pantas
disejajarkan dengan warga nonpribumi,warga nonpribumi menganggap rendah dan
remeh begitu juga hal sebalikya warga pribumi menganggap bahwa warga nonpribumi
tidak berhak untuk tinggal dan menetap diwilayah mereka
Kita tidak
menyangkal adanya perbedaan antara pribumi dengan non-pribumi,
sebagaimana juga perbedaan antar suku-suku yang berlainan. Akan tetapi
tidak
seharusnya menitik beratkan persoalan di sini, apalagi mempertentangkan
"pribumi" dan "non-pribumi" (yang biasa dimaksudkan adalah
peranakan Tionghoa).
Hakekat sesungguhynya bukanlah sebagaimana dinyatakan sementara
orang:"non-
pribumi menjajah pribumi" dan harus diselesaikan dengan "membela
pribumi" dan
melempar "non-pribumi" ke laut.
Isu
pribumi dan pribumi timbul di karenakan pendidikan dan wawasan akan kesadaran
berbangsa dan bernegara belum masuk dan di hayati penuh sepenuhnya oleh
masyarakat kita
3) Siapa saja
yang dimaksud non pribumi?
Jawab: Yang dimaksud dengan non pribumi adalah
seseorang yang asal usul kwarganegaraannya tidak berasal dari negara tersebut,
tetapi menurut saya untuk negara indonesia sebenarnya tidak ada yang disebut
warga pribumi karena sebenarnya dari nenek moyang warga indonesia adalah para
imigran dari bangsa lain seperti bangsa arab, cina, dan negroid, walaupun jika
ada bangsa melayu itupun tersebar keberapa negara jadi bangsa melayu pun belum
bisa disebut sebagai pribumi di Indonesia.
di zaman
penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda
didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat
pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas
kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah
(“kasta sudra”).
Setelah
merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll)
berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa
Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka
persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan
neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui
tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun
1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan
membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu
beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal
inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak
(penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi
4) Kenapa
istilah Non pribumi yang menonjol hanya pada etnis Tionghoa?
Jawab: Kenapa istilahnon pribumi yang menonjol
hanya pada etnis tionghoa karena beberapa kasus yang melibat beberapa warga
tionghoa seperti:
Masa Orde Baru
Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha
dasyat di Indonesia, yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde
lama yang memberi ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang
membasmi keberadaan Komunis di Indonesia.
Bersamaandengan perubahan politik itu rezim
Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini
dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping
itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan
tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia
diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap
masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di
samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran
No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu
disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi
nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim.
Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya
itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi
Intelijen (Bakin).
Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak
menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka
berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka.
Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam
berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran
penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha
kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini
sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi
terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun
atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi
pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya,
adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun
memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004
lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan
aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa
Para pemimpin di era reformasi tampaknya lebih toleran
dibandingkan pemimpin masa orde baru.Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie
melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan
Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula
diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi
untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada
umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya
keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan
lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No
14/1967 yang melarang etnis Tihoa merayakan pesta agama dan penggunaan
huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan
Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan
budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres
Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang
Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai
kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak
wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan
kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa
ingin memperbaharui paspor dan KTP.
5) Langkah
apa yang anda dapat sarankan untuk menghilangkan isu pribumi dan non pribumi di
Indonesia?
Jawab: Pada dasarnya negara Indonesia terdiri
dari bebrapa suku agama dan ras. Setiap bangsa mempunyai keunggulan dan
kelemahan, setiap suku juga mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Kita semua harus bisa belajar kelebihan kelompok lain untuk mengatasi
kekurangan sendiri, berkompetisi dengan adil untuk kemajuan masyarakat dan
kemakmuran bersama. Tak pantas untuk dengki, iri-hati melihat kelebihan
dan keberhasilan orang lain dan suku lain, lebih- lebih jangan pula sampai
timbul minat-jahat untuk membasmi orang itu atau suku itu yang lebih
unggul dari dirinya.
Suku Jawa mempunyai keunggulan, kelebihan dan
kekurangan, juga demikian dengan suku Batak, suku Bugis dan suku Tionghoa
di Indonesia. Keunggulan suatu suku bukan pula berarti keunggulan setiap
perorangan dari suku itu. Tak sedikit peranakan Tionghoa yang menunjukkan
keunggulannya di bidang perdagangan
marilah kita, seluruh rakyat Indonesia, bersatu tanpa
mempersoal- kan suku yang berbeda, agama yang berbeda dan keturunan yang
berbeda, untuk membentuk satu pemerintah yang adil dan bersih! Hanya
dengan pemerintah yang adil dan bersih, kita bisa membangun dan mencapai
satu masyarakat adil dan makmur!
http://juniarto21.blogspot.com/2011/03/pribumi-dan-nonpribumi.html
0 komentar: